AMBONKITA.COM,- Dua keterwakilan perempuan yakni Astuti Usman dan Irawati Bella dinyatakan gagal lolos seleksi dalam pencalonan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Maluku periode 2022-2027.
Gagalnya kedua peserta yakni dengan nomor peserta 039/P/TS-MALUKU/6/2022 atas nama Astuti Usman yang sebelumnya telah menjabat sebagai ketua Bawaslu pada periode sebelumnya dan Irawati Bella, nomor peserta 047/P/TS-MALUKU/6/2022 mengagetkan banyak pihak.
Dua keterwakilan perempuan dari 12 nama calon anggota Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Provinsi Maluku tahun 2022-2027 ini dinyatakan tidak lolos pada tahapan tes kesehatan dan wawancara seperti yang dirilis Tim Seleksi Bawaslu Maluku pada Selasa, 2 Agustus 2022 melalui Bawaslu.Maluku.go.Id.
Hal ini menuai protes sejumlah aktifis perempuan yang menilai tidak adanya keterwakilan kuota 30 persen sesuai aturan Undang-Undang No. 7/ tahun 2017 tentang Pemilu.
Melalui rilis yang dikirim kepada redaksi Ambonkita.com, Rabu (3/8/2022) Kelompok Perempuan Cipayung yang terdiri dari aktifis perempuan dari HMI, PMII, GMKI, GMNI dan PMKRI menilai keputusan Timsel tersebut telah cacat prosedur dan bertentangan dengan pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 ayat 11 UU Pemilu tersebut, yang menyebutkan antara lain bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Menurut Ketua Kopri Cabang Ambon, Nur Endang Syahmully, pada dasarnya affirmative action atau memperhatikan keterwakilan minimal 30% perempuan di KPU dan Bawaslu merupakan amanat dari Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Dimana affirmative action, menurut Kelompok Perempuan Cipayung ini merupakan cara yang dipilih oleh negara sebagai jawaban terhadap kondisi sosial yang diskriminatif, adanya ketidaksetaraan dan marginalisasi disegala bidang kehidupan akibat struktur patriarki di level publik dan privat.
Untuk itu, affirmative action merupakan intervensi yang dilakukan oleh negara dalam mewujudkan suatu jaminan keadilan bagi setiap orang dalam membangun kehidupan bersama, bukan hanya kelompok tertentu saja, demikian tegas mereka.
Syahmully menjelaskan yang terjadi pada dua wakil perempuan yang mencalonkan diri sebagai Anggota Bawaslu Maluku itu adalah untuk memenuhi amanat UU tersebut. Padahal dua saja masih di bawah ambang batas minimum 28,57% sedangkan harusnya sesuai UU paling sedikit 30%.
“ Cuma dua yang mendaftar itupun tidak diakomodir, padahal kehadiran perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu wajib mencapai 30%. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk berargumentasi bahwa frasa “memperhatikan” dimaknai hanya sebagai bentuk himbauan, bukan kewajiban,” sesal Ketua Bidang Perempuan KMHDI Ambon.
Ketua Kohati Cabang Ambon, Sitra Ollie menyesalkan tidak adanya keterlibatan perempuan sama sekali dalam penyelenggara Pemilu pada Bawaslu Provinsi Maluku, padahal Puskapol FISIP UI pada 2014 pernah merilis hasil riset terkait “langit-langit kaca” atau hambatan-hambatan tidak kasat mata yang dihadapi oleh perempuan dalam partisipasinya sebagai penyelenggara Pemilu.
“Setidaknya ada empat hambatan yang dialami oleh perempuan yakni masalah budaya, masalah pengetahuan kepemiluan, masalah letak geografis, dan masalah regulasi. Empat hal ini menjadi kendala karena budaya patriarki masih meraja, maka banyak perempuan menjadi tidak berdaya, ‘’ Sitra Olie.
Kelompok Perempuan Cipayung menilai meskipun negara telah memberikan payung hukum untuk memperkuat posisi perempuan dalam politik dan Pemilu, fakta di lapangan masih menunjukkan bahwa implementasinya masih jauh dari harapan.
Wulan Reasoa, Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan GMKI Ambon, mengatakan posisi perempuan dalam politik dan Pemilu masih membutuhkan kerja sama dari banyak pihak. Saat payung hukum telah tersedia, maka sisanya adalah mengawal implementasi dari payung hukum tersebut. Posisi perempuan dalam politik dan Pemilu menjadi penting agar kebijakan publik dan regulasi yang adil gender dapat terealisasi.
“Tidak hanya itu, posisi perempuan dalam politik dan Pemilu yang ramah bagi perempuan juga tidak lagi sekedar harapan, ‘’ ujarnya.
Kelompok Perempuan Cipayung Kota Ambon menegaskan kepada Tim Seleksi Bawaslu Provinsi Maluku untuk menjalankan keterwakilan minimal 30% Perempuan dalam proses penyelenggara Pemilu khususnya Bawaslu Provinsi Maluku, apabila tidak direvisi maka benar adanya Tim Seleksi mengabaikan amanat UU dan melakukan kesalahan cacat prosedural.
“Semestinya timsel hati-hati tentang amanah UU ini, tidak bisa membiarkan badan pengawas pemilu tanpa keterwakilan perempuan, ‘’ jelas Zia Ngabalin, Ketua Bidang Kesarinaan GMNI Ambon. (insany)
Discussion about this post