AMBONKITA.COM- Masyarakat adat Negeri Urimesing menggelar aksi unjuk rasa di depan Balai Kota Ambon, Selasa (28/9/2021).
Mereka mendesak Wali Kota Ambon, Richard Louhenapessy, untuk membatalkan hasil penetapan Mata Rumah Perintah (MPR) Negeri Urimesing yang sudah ditetapkan Badan Saniri Negeri (BSN) pada 9 September 2021.
Penetapan keluarga Fisera sebagai MRP negeri Urimesing, dinilai tidak sah oleh masyarakat, karena prosesnya tidak sesuai dengan mekanisme sebenarnya.
Dalam aksi itu, belasan orang masyarakat adat Negeri Urimesing itu membawa sejumlah alat peraga aksi seperti spanduk dan pamflet.
“Kembalikan Mata Rumah Parentah. Urimesing butuh pemerintahan yang sah,” teriak orator Yanimen Andries, kepala pemuda negeri Urimesing.
Mereka meminta agar hak adat negeri jangan dikebiri. Tatanan adat jangan dipolitisir untuk kepentingan pribadi.
“Pemerintah tidak boleh kalah dari preman,” sebutnya.
Warga menyampaikan, Negeri Urimesing sudah lama tidak memiliki Raja difinitif. Hal itu disebabkan karena negeri adat itu sudah dipolitisir.
“Tidak pernah ada raja definitif. Hanya janji-janji manis yang kami terima selama ini. Padahal, kita berikan tanah ini untuk membangun kota Ambon,” sesal warga.
Wali kota Ambon diminta agar dapat segera menyelesaikan persoalan tersebut. Karena beliau dipilih oleh masyarakat negeri Urimesing.
“Kita datang mewakili tiga belas ribu masyarakat adat. Kita ditindas selama ini. Hak rakyat harus dikembalikan,” teriak orator lainnya.
Kepada AmbonKita.com, Kepala Pemuda Negeri Urimesing, Yaramian Andries, mengaku, aksi unjuk rasa dilakukan karena pihaknya tidak terima dengan penetapan MRP oleh BSN.
Penetapan MRP oleh BSN Urimesing dilakukan tidak sesuai mekanisme sebenarnya. Mereka menetapkan berdasarkan voting. Bahkan, voting terjadi saat hanya dihadiri 5 orang Saniri. Di mana dua Saniri diantaranya datang bukan perutusan Soa, namun perwakilan dari masyarakat yakni Tuni dan Mahia.
Saniri perwakilan masyarakat itu, tidak memiliki hak suara, tapi hanya hak bicara. Sebab, mereka bukan bagian dari anak adat dan tidak diutus dari Soa.
“Masalah utamanya terkait penetapan mata rumah parentah negeri Urimesing pada tanggal 9 September 2021 di Dusun Seri,” katanya.
Ia menjelaskan, berdasarkan kajian tim sejarah Negeri Urimesing, menetapkan tiga MRP. Yaitu MRP Salakay, Leloay dan Fisera.
“Dari keputusan itu mereka bersepakat untuk nanti tiga mata rumah ini bermusyawarah menentukan siapa yang menjadi mata rumah parentah,” jelasnya.
Proses musyawarah tiga MRP itu dilakukan dengan cara menunjukan bukti MRP mulai dari Soa, Batuteum, Slakbom, Dati, dan Upunya apa.
Sayangnya, di tengah proses itu, keluarga Fisera dengan kapasitasnya sebagai ketua Saniri, tiba-tiba melakukan rapat penetapan MRP.
Rapat yang dilaksanakan di Dusun Seri pada 9 September itu tidak melibatkan pihak-pihak terkait sebagaima keputusan tim kajian sejarah.
“Jadi dirinya (Fisera) menetapkan dirinya sendiri sebagai mata rumah parentah. Proses pengambilan keputusan seakan-akan mereka semua terlibat, dan dilakukan secara voting,” jelasnya.
Dia mengaku dalam proses-proses penetapan MRP, kerap didatangkan preman yang melakukan intimidasi, dan memprovokasi anggota Saniri Negeri.
“Dan di kelompok Saniri sendiri sudah ada dua kubu. Lima diantaranya berdiri dengan kubu Fisera. Jadi kalau hitung-hitungan, proses voting pun akan memenangkan dia sebagai mata rumah parentah,” terangnya.
Dalam aksi demonstrasi tersebut, masyarakat adat Negeri Urimesing ini diterima oleh asisten pemerintahan, Elkyopas Silooy.
Penulis: Husen Toisuta
Discussion about this post