Selain teksnya yang bermasalah, aparat penegak hukum juga kerap keliru dalam menerapkan pasal-pasal ini.
“Jadi problem kita tak sekadar teks. Teksnya bermasalah, tapi penegak hukum juga tidak punya kapasitas untuk mengubah situasi. Hal ini menandakan bahwa, pasal yang baik saja bisa kena itu. Ini yang terjadi dalam banyak kasus. Masalah lainnya, pasal penghinaan terhadap presiden sudah dicabut, tapi masih dipakai,” papar dia.
Ia mencontohkan saat menjadi saksi ahli dalam persidangan UU ITE di Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 2021 lalu dengan terdakwa Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Saat itu, pembuat UU ini juga dihadirkan.
Kasus Saiful bermula ketika dia menulis di grup Whatsapp ‘Unsyiah Kita’ pada Maret 2019 mengkritik hasil penerimaan CPNS di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala pada 2018. Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Taufiq Saidi, kemudian melaporkan Saiful ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik berbekal tulisan di grup Whatsapp itu.
Saiful ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan vonis tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider satu bulan kurungan, karena melanggar pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 UU ITE.
“Jadi yang tertulis itu menjelaskan yang dengan harapan kalau dibaca sama penegak hukum, itu mengubah keputusan atau membuat penegakkan hukum lebih baik. Ini pembentuk UU datang dan menjelaskan langsung, tapi gak didengar juga,” jelasnya.
Pasal tentang kabar bohong juga saat ini sangat mengancam pers dan jurnalis. Saat melakukan investigasi, jurnalis kalau tidak kena pencemaran nama baik maka disasar dengan kebohongan.
“Sering dipaksakan lewat pelaporan ke kepolisian. Sejarah pasal kebohongan ini panjang dan sudah ada landmark decissionnya (keputusan yang baik di pengadilan) bahwa pemberitaan yang dilakukan jurnalis itu harusnya melalui mekanisme pers, tapi sengaja dimasukkan lagi dalam UU ITE,” kata dia.
Ketua AJI Ambon, Tajudin Buano, dalam sambutannya mengaku UU ITE masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat dan juga jurnalis untuk mengekspresikan gagasan, dalam bentuk kritik maupun pemberitaan. UU ITE telah bermasalah sejak dibuat dan diundangkan pada 2008 silam.
Melihat banyaknya korban dari UU ini, baik kritikus, akademisi, masyarakat biasa hingga jurnalis, sudah saatnya UU ini didesak untuk direvisi. Karena revisi pertama pada 2016 lalu masih menyisakan pasal-pasal multiinterpretasi yang telah memakan banyak korban.
AMBONKITA.COM,- Kepala Kepolisian Daerah Maluku Irjen Pol Eddy Sumitro Tambunan meminta dukungan dan mengajak seluruh…
AMBONKITA.COM,- Dua oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS), warga kecamatan Sirimau, Kota Ambon, yang diduga sebagai…
AMBONKITA.COM,- Aparat Satreskrim Polres Buru berhasil menggagalkan penyelundupan bahan kimia jenis Cianida (CN) dan Karbon…
AMBONKITA.COM,- Ketua Umum Bhayangkari Pusat, Juliati Sigit Prabowo, kembali menyalurkan ribuan paket bantuan sosial (Bansos)…
AMBONKITA.COM,- Anggaran Dana Desa dan Alokasi Dana Desa di Negeri Administratif Aruan Gaur, kabupaten Seram…
AMBONKITA.COM,- Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Tial, Fadli Tuarita, diperiksa penyidik Subdit III Tindak Pidana Korupsi…