AMBONKITA.COM,- Thomas Madiles, warga Desa Amahai, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik.
Pemuda pengangguran itu sebelumnya dipolisikan oleh ibu Gubernur Maluku, Widya Pratiwi Murad.
Madiles disangkakan melanggar ketentuan Pasal 45 ayat (3) Jo 27 ayat (3) UU ITE dan/atau Pasal 310 ayat (2) KUHPidana.
“Betul, itu sudah diterima oleh Polda Maluku dan yang bersangkutan sudah ditangkap beberapa hari lalu,” kata Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol. M. Rum Ohoirat kepada wartawan, Selasa (14/3/2023).
Meski dijadikan tersangka, Madiles tidak ditahan. Penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku hanya memberikannya wajib lapor.
“Yang bersangkutan tidak ditahan karena memang ancaman hukumannya empat tahun. Dan kepada yang bersangkutan diberikan wajib lapor,” katanya.
Terkait dengan kasus tersebut, Bryan Kariuw, salah satu advokat muda mengaku ada yang aneh. Bagaimana mungkin istri Gubernur Maluku di tengah-tengah kesibukkan masih sempat membuka, membaca, dan merespon status di media sosial sekelas Facebook?.
“Kalaupun beliau terkadang membuka sosial media (Facebook) maka pertanyaan lebih lanjut apakah beliau berteman/friends facebook dengan sdr (TM),” kata Bryan dalam keterangan resminya yang diterima AmbonKita.com, Rabu (15/3/2023).
BACA JUGA: Temui Kapolda Maluku JICA Koordinasi Masalah Keamanan
Bryan juga mempertanyakan letak kesalahan yang dibuat Madiles hingga penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku menetapkannya sebagai tersangka.
“Apakah telah menyebutkan secara expressive-verbis nama subjek atau identitas individu seseorang dalam postingan media sosialnya?,” kata dia.
“PASAL KARET”
Sebagaimana dimengerti, ancaman Pasal 27 ayat (3) UU ITE, merupakan salah satu Pasal yang sering menjadi perdebatan, bahkan bagi sebagian kalangan menyebutnya “Pasal Karet”. Sebab dengan mudah bisa membungkam suara-suara yang kritis. Sebab itulah, makna delik pidana dalam pasal a quo dirubah oleh MK melalui putusannya nomor 50/PUU-VI/2008, bergeser dari delik biasa menjadi delik aduan.
Bahkan setelah adanya putusan MK, pihak Pemerintah, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Republik Indonesia sepakat untuk membuat pedoman tafsir/implementasi Pasal a quo dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 2021.
Secara tegas, kata Bryan, telah disebutkan bahwa “Bukan sebuah delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diakses tersebut adalah berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan dan/atau kata-kata tidak pantas.”
Untuk perbuatan yang demikian, Bryan mengaku semestinya dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan sebagaimana dimaksud Pasal 315 KUHP. SKB tersebut adalah produk hukum dari institusi Kepolisian Republik Indonesia. Maka seyogianya aparat Polisi, Penyidik, atau Penyidik Pembantu tunduk pada produknya sendiri.
Bryan mengaku, fokus pemidanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja (dolus) menyerang kehormatan seseorang pribadi dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum seyogianya bersikap proporsional dan profesional.
“Meminjam bahasa Satjipto Rahardjo, tidak boleh membaca Undang-Undang seperti layaknya robot yang bersifat kaku (rigid) tetapi harus lebih progresif,” kutip Bryan.
Editor: Husen Toisuta
Discussion about this post