Senada, Christofani, 16 tahun, dari Komunitas Anak Cinta Laut (ACL) Maluku, mengaku berbagai kegiatan sosial yang dilakukan bisa mencegah anak teradiksi gawai.
“Kami di ACL melakukan kegiatan menyelam, menanam karang atau membersihkan pantai di akhir pekan. Waktu pulang kami sudah lelah sekali. Jadi kami lebih butuh tidur daripada butuh gawai. Intinya kami jadi lebih cerdas menggunakan gawai untuk hal-hal yang penting saja,” kata dia.
Karakter anak terbangun oleh kesempatan-kesempatan yang diperolehnya melalui berbagai kegiatan di dunia nyata, baik lewat bermain, berteman, berinteraksi dengan alam, berolahraga, maupun pengembangan khusus dari potensi setiap anak yang dikaruniakan oleh sang Pencipta.
Menurut Prof. Dr, Pamella Mercy Papilaya, ahli pendidikan dari Universitas Pattimura, mengatakan, anak harus berinteraksi dengan dunia nyata, sehingga ia mengenali dan mencintai lingkungan hidupnya.
Melalui kegiatan ini, diharapkan bisa tumbuh kepedulian, tanggung jawab, dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi lingkungannya.
“Anak memerlukan arahan dan dampingan orangtua, agar cakap berdigital. Jangan sampai anak begitu lekat dengan gawainya sehingga ia justru jauh dan lupa akan lingkungan hidupnya,” ungkapnya.
Hasil penelitian yang dilakukan dr. Kristiana Siste, dr. Enjeline, dan tim Divisi Psikiatri Adiksi Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM di 34 provinsi di Indonesia selama masa pandemi covid-19 pada bulan Mei-Juli 2020, menunjukkan bahwa angka kecanduan internet terhadap anak remaja adalah 19,3%, dan dewasa muda 14,4%.
Terdapat sejumlah 2.933 remaja mengalami peningkatan durasi online dari 7,27 jam menjadi 11,6 jam perhari. Kondisi ini meningkat sekitar 59,7%. Sedangkan pada 4.734 dewasa muda mengalami peningkatan durasi online menjadi 10 jam/hari.
Kondisi tersebut harus diintervensi sesegera mungkin karena kecanduan internet menimbulkan dampak negatif bagi otak, fisik, kesehatan jiwa, dan sosial. Hal ini menyebabkan seseorang sulit membuat keputusan, sulit konsentrasi dan fokus, pengendalian diri buruk, prestasi menurun, penurunan kapasitas proses memori, serta kognisi sosial negatif. Adiksi gawai berdampak sangat buruk pada anak.
Diena Haryana mengingatkan bahwa adiksi gawai dialami oleh 1 dari 7 orang dewasa, dan 1 dari 5 anak remaja. Ini bisa merugikan potensi Indonesia dalam menghadapi masalah kehidupan yang membutuhkan ketangguhan, keunggulan dan kreatifitas.
“Dibutuhkan segala upaya untuk menumbuhkan potensi anak-anak kita. Apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan di Maluku, para penggiat anak serta anak-anak sendiri dalam membangkitkan potensi anak layak diapresiasi dan menjadi pembelajaran baik buat kita semua,” kata Diena.












