AMBONKITA.COM,- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) cabang Ambon menggelar diskusi secara virtual, mendesak revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) beserta Pasal bermasalah dalam RUU KUHP, Sabtu (10/9/2022).
Diskusi yang bekerjasama dengan AJI Indonesia dan Forum-Asia ini menghadirkan narasumber Nenden Sekar Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, dan Herlambang P. Wiratraman, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM). Nenden Sekar Arum membawakan materi mengenai Pasal-pasal bermasalah di RKUHP & UU ITE dan ancamannya. Sementara Herlambang P. Wiratman memaparkan materi mengenai Praktik penerapan UU ITE dan kemungkinan RKUHP dan dampaknya ke jurnalis/aktivis. Diskusi diikuti 15 peserta dari jurnalis dan jurnalis warga serta pers kampus.
Diskusi tersebut dilakukan menyusul rencana revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dijanjikan pemerintah sejak 2021 lalu hingga kini belum mengalami kemajuan. Surat Presiden tentang revisi UU ITE berikut draf revisi sudah dilayangkan ke DPR pada 16 Desember 2021 lalu. Tak hanya itu, draf revisi dan daftar inventaris masalah (DIM) yang diajukan koalisi masyarakat sipil masih mandek di pimpinan DPR.
Hingga kini belum ada kabar dari Senayan tentang nasib kelanjutan rencana revisi UU ITE. Padahal, semakin lama rencana revisi berada di tengah ketidakjelasan, semakin banyak warga terancam dan terjerat pasal-pasal pemidanaan dalam UU ITE yang sangat elastis. Jurnalis adalah salah satu kelompok masyarakat yang paling berisiko mengalami jeratan itu.
Saat rencana revisi UU ITE belum ada kemajuan, pemerintah justru kembali mengajukan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk segera dibahas di DPR. RUU KUHP masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2022 yang akan diselesaikan pada Masa Sidang ke V DPR Tahun 2022.
AJI melihat pembahasan RUU KUHP tidak transparan. Sebab, publik belum mendapatkan draf RUU KUHP yang dibahas DPR dan pemerintah akhir Mei lalu. Selain itu, AJI mencatat setidaknya ada 14 pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers yang dibahas dalam draf RUU KUHP tahun 2019.
Pasal-pasal itu di antaranya mengatur pemidanaan terhadap penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang berakibat terjadinya kerusuhan masyarakat, menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, penyiaran berita bohong, penyiaran kabar yang tidak pasti, dan sebagainya.
Pasal-pasal itu membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena terlihat dengan mudah untuk dipidanakan. Ini terutama karena pasal-pasal itu juga mengatur tindakan “menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum”. Risiko pemidanaan dalam RUU KUHP serupa dengan ancaman dalam UU ITE, bahkan diperluas.
BACA JUGA: Besok Kadis PU Maluku Dilantik sebagai Penjabat Bupati Malteng
Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menunjukkan terdapat 372 kasus warga yang terjerat UU ITE sejak UU tersebut diundangkan hingga 2020. Jumlah itu meliputi kasus dengan berbagai status penanganan, baik yang berakhir dengan vonis bersalah, penahanan oleh polisi, berhenti pada tahap laporan, atau tidak jelas penanganannya. Terakhir hingga 2021, laporan SAFEnet menunjukkan jumlah kasus sudah bertambah menjadi 393.
Herlambang mengatakan, jangan sampai pasal-pasal itu disahkan. Karena kalau disahkan, akan menambah daftar panjang pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
“Dalam kenyataanya, UU ITE seringkali menyasar kepada siapa pun. Istilah semua bisa kena,” katanya.
Discussion about this post