Proses-proses tersebut akan sangat maksimal dilakukan, teristimewa dalam memaksimalkan peran lembaga-lembaga adat, dan kearifan lokal yang lain.
Dikatakan, apabila peran lembaga adat dan kearifan lokal berperan aktif, maka Paulus mengaku para provokator akan tenggelam atau mengalami kejenuhan. Mereka tidak akan bisa menggembosi pertahanan ke lokalan masyarakat Maluku yang begitu kokoh dan kuat untuk membangun kebersamaan.
“Bukan saja untuk membangun kebersamaan tetapi juga perdamaian sebagai sebuah kebutuhan yang sebetulnya riil dibutuhkan oleh masyarakat kita,” pungkasnya.
Senada dengan Paulus Koritolu, Kabid Humas Polda Maluku, M. Rum Ohoirat, juga mengaku konflik sosial di Maluku sudah terjadi sejak zaman dulu. Bahkan ada kelompok-kelompok etnis tertentu yang terbentuk akibat adanya konflik.
“Berbicara konflik sosial bukan baru saja terjadi. Tentu ini bukan satu kebanggaan bagi kita, atau sesuatu yang harus kita syukuri,” kata Ohoirat.
Ohoirat berharap agar konflik sosial yang kerap terjadi hingga saat ini harus mendapat perhatian serius dari semua elemen masyarakat. Pemerintah daerah, TNI Polri, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan elemen lainnya harus duduk bersama untuk menanggulanginya.
Polri, kata Ohoirat, telah berupaya secara maksimal untuk melakukan penanganan konflik sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).
Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari pemetaan daerah rawan konflik, penempatan personel baik aparat pengamanan maupun Bhabinkamtibmas di setiap daerah, hingga proses penegakan hukum terhadap pelaku konflik.
“Namun apa yang disampaikan oleh pak Doktor (Paulus) tadi memang kami keterbatasan personil untuk mengcover seluruh negeri di Maluku, dalam upaya melakukan deteksi dini,” jelasnya.
Di sisi lain, juru bicara Polda Maluku ini mengaku penanganan konflik juga bukan ansih tanggung jawab kepolisian semata. Sesuai Undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial, terdapat tiga tahapan yang diatur. Yaitu tahap pencegahan, penghentian dan pemulihan konflik.
Tahapan pencegahan merupakan tanggung jawab bersama semua pihak. Ohoirat berharap pada tahap ini berbagai pihak tidak saling melepas tanggung jawab.
“Kita tidak perlu menyatakan bahwa si A yang bertanggung jawab, atau si B. Namun sesuai amanah undang-undang bahwa tahapan-tahapan itu justru yang bertanggung jawab adalah pemerintah daerah. Berbicara pemerintah daerah maka di dalamnya ada Bupati, Walikota dan anggota DPRD,” katanya.
Ia mengungkapkan, sejauh ini setiap terjadi konflik, aparat kepolisian bertugas untuk menghentikannya. Polisi turun untuk mengamankan konflik agar tidak menyebar menjadi luas.
“Sesuai dengan amanah undang-undang tadi saya sampaikan tugas penghentian konflik berada di kepolisian kemudian selanjutnya adalah pemulihan adalah tugas dari pemerintah daerah,” katanya.
Ohoirat mengaku berbagai cara untuk menghentikan konflik sosial telah dilakukan sesuai SOP Kepolisian. Namun dirinya juga tidak mengelak masih terdapat kendala atau kekurangan-kekurangan yang terjadi.
Discussion about this post