“Judul maupun lirik lagu itu sangat mendiskriminasi perempuan, bahkan cenderung melanggengkan stigmatisasi bahwa perempuan yang masih ada di jalan pada malam hari itu bukan perempuan baik-baik. Padahal selama ini kita semua berusaha keras menghilangkan stigma itu dari masyarakat kita. Apalagi, kita tahu bahwa stigma yang demikian telah menjadi salah, ” tegas Lusi.
Menurut Lusi, lagu seperti ini adalah salah satu pemicu munculnya kasus-kasus perkosaan, juga menciptakan perilaku victim blaming yang masih sangat sulit dihilangkan.
Korban selalu disalahkan, mengapa sudah malam masih ada di jalan sehingga akhirnya diperkosa.
“Tidak hanya itu, dampak dari lagu itu bisa berakibat reviktimisasi, luka hati korban terkorek lagi dan itu mengganggu pemulihan korban bahkan bisa terjadi pembunuhan karakter”, tambahnya mempertegas.
“Saya sangat kuatir dengan korban perkosaan yang sudah mulai survive dan membangun hidup dengam susah payah mengumpulkan puing-puing harapan yang sempat hancur. Ketika sudah mulai stabil dan hidup tenang, tiba2 muncul lagu itu. Dia pun menuai cibiran bahkan bisik-bisik tetangga, itu…bajalang sampe tengah malam, makanya diperkosa. Atau orang lain mungkin mencibir, suaminya kaweng deng orang bakas dosa, dan seterusnya dan bisa saja psikis korban kembali hancur atau bahkan terbunuh, ” papar Lusi.
Setelah menutup video lagu tersebut dari khalayak, Emola membuat live streaming video klarifikasi, yang intinya mengatakan tidak ada yang salah dari lagunya yang merupakan karya seni atas dasar kebebasan berekspresi.
Tentang hal ini, Lusi menyayangkan dangkalnya nurani seorang seniman bernama Emola.
“Dulu kita punya banyak lagu Ambon yang jelas-jelas menyoal peran sosial laki-laki perempuan, semacam lagu om maku dan usi engge, lagu Oya. Karya-karya itu menghibur tapi tetap sopan. Bukan seperti Ale itu lxnte. Dia (Emola) malah membandingkan karyanya itu dengan lagu musisi Iwan Fals berjudul Lxnteku. Bagaimana mungkin dibandingkan seperti itu? Coba dalami lirik lagu Iwan Fals, jauh berbeda, ”papar Lusi.
Lusi menilai kalimat atas tatutup bawah tabuka sangat tendensius dan menyasar ke perempuan tertentu. Perempuan berjilbab misalnya? Apakah ini bukan dikriminatif?” tanya Lusi.
Discussion about this post