AMBONKITA.COM,- LBH Pers, PBHTP, LBH Pers Makassar, LBH Pers Padang, LBH Pers Yogyakarta, LBH Pers Manado, dan LBH Pers Ambon mengecam kebijakan serampangan berdalih efisiensi anggaran yang bertentangan dengan mandat dari konstitusi, khususnya yang berkaitan langsung dengan keberlangsungan hajat hidup masyarakat luas dan berimplikasi pada pelemahan lembaga dan institusi Negara yang berkaitan langsung dengan kemerdekaan Pers, penegakkan dan pengawasan hukum serta pemajuan hak asasi manusia.
Kecaman ini dikeluarkan melalui siaran pers bersama sejumlah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yang diterima Ambonkita.com pada Jumat (14/2/2025).
Menurut mereka, penerbitan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN serta APBD Tahun Anggaran 2025 (“Inpres Presiden”) pada 22 Januari 2025 yang lalu memerintahkan para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian termasuk Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) untuk melakukan review anggaran.
Efisiensi anggaran di TVRI dari pagu anggaran awal sebesar Rp1,52 triliun menjadi Rp 1,06 triliun, sementara pagu anggaran RRI dipangkas menjadi Rp 334,09 miliar, dari total pagu anggaran awal Rp1,07 triliun sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 tertanggal 24 Januari 2025 tentang Efisiensi Belanja K/L dalam Pelaksanaan APBN TA 2025. Dalam surat tersebut tercantum efisiensi ditargetkan kepada 16 belanja K/L. Kebijakan tersebut kemudian direspons oleh Direktur Utama TVRI dan RRI untuk ‘merumahkan’ kontributor dan wartawan termasuk presenter dan tenaga outsourcing.
Keputusan pemutusan hubungan kerja dan pemotongan honor yang terjadi di TVRI dan RRI awalnya diklaim sebagai dampak dari efisiensi anggaran tersebut. Namun setelah mendapatkan atensi publik yang luas dan pasca rapat bersama Komisi VII DPR pada Rabu, 12 Februari yang lalu – kebijakan ini kemudian dibatalkan. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya tekanan dan sorotan publik, pelanggaran terhadap hak pekerja TVRI dan RRI bisa saja terus berlanjut tanpa penyelesaian yang berkeadilan.
Pemutusan hubungan kerja serta pemotongan honor secara sepihak terhadap pekerja di TVRI dan RRI menunjukan nihilnya komitmen Negara untuk mendukung ekosistem kemerdekaan Pers dalam menjamin keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Berita dan konten yang berkualitas hanya dapat dihasilkan apabila pekerjanya – dalam hal ini Jurnalis termasuk kontributor mendapat jaminan perlindungan atas kesejahteraan hak-hak dasarnya sebagai pekerja. Jurnalis Kontributor yang turut menjalankan tugas jurnalistik memiliki posisi yang tidak terpisahkan dari ekosistem media, mengorbankan kontributor sebagai salah satu kebijakan spontan dalam merespons terdapatnya efisiensi anggaran merupakan bentuk dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Dalam perspektif hukum ketenagakerjaan, kontributor termasuk dalam kategori Pekerja Waktu Tertentu (PKWT), sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan tentang Ketenagakerjaan. Pekerja lepas tetap berhak atas kepastian kerja, perlindungan upah yang adil, serta tidak boleh diberhentikan secara sepihak tanpa melalui mekanisme yang sah. Oleh karena itu, tindakan pemangkasan hak pekerja tanpa dasar yang jelas tidak hanya merugikan individu yang terdampak, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip ketenagakerjaan yang berlaku. Perusahaan juga wajib membayar sejumlah upah yang sempat dipotong, sebab pemotongan tersebut merupakan upah yang terutang dan perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikannya.
“Kami mengecam penerbitan kebijakan serampangan yang bertentangan dengan mandat dari Konstitusi. Khususnya yang berkaitan langsung dengan keberlangsungan hajat hidup masyarakat luas dan berimplikasi pada pelemahan lembaga dan institusi Negara yang berkaitan langsung dengan kemerdekaan Pers, penegakkan dan pengawasan hukum serta pemajuan hak asasi manusia.”
Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 secara tegas memandatkan “Anggaran pendapatan dan belanja (APBN) ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang,…” yang artinya Presiden sekalipun prerogatif untuk mengotak-atik APBN yang telah disepakati bersama dengan DPR-RI.
Merespons penerbitan kebijakan yang bertentangan dengan mandat Konstitusi tersebut, mereka mendorong seluruh jajaran pejabat struktural dan Pimpinan Media yang terdampak untuk:
Pertama, seluruh kebijakan yang berkaitan dengan pekerja media dilakukan secara transparan dan berdasarkan prinsip keadilan. Perusahaan media termasuk namun tidak terbatas pada TVRI dan RRI, harus memahami bahwa kesejahteraan Pekerja merupakan elemen utama dalam memproduksi konten yang berkualitas. PasaL 10 UU Pers memandatkan Perusahaan pers untuk memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers. Oleh sebab itu Pimpinan Media memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak merugikan pekerja, terutama yang berada dalam posisi paling rentan.
Kedua, manajemen RRI/TVRI dan perusahaan pers lain yang terdampak efisiensi anggaran agar menghormati dan memenuhi hak kesejahteraan pekerja serta membayarkan seluruh hak-hak pekerja termasuk sisa upah terhutang yang telah terdampak atas kebijakan efisiensi sebelumnya sebagai bagian dari amanat pasal 10 UU Pers.
Ketiga, berkomitmen untuk menjamin pemenuhan serta perlindungan terhadap hak-hak pekerja media sebagai salah satu perwujudan kemerdekaan pers dengan melakukan pemetaan ulang sumber dana alternatif yang dapat diperoleh melalui iuran publik, APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan sumber lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 2002. •
Editor: Husen Toisuta