AMBONKITA.COM,- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang diterbitkan Presiden Joko Widodo tanggal 30 Desember 2022, dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.91/PUUXVIII/2020.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, menilai, Perppu tersebut diterbitkan tertutup dan secara tiba-tiba. Pasalnya, masyarakat baru mendapatkan informasi atas peraturan tersebut pada hari yang sama saat Presiden mengumumkannya kepada publik.
“Padahal dalam Pasal 5 huruf g UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Perppu sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 13/2022, ditegaskan dalam setiap pembentukan perundang-undangan, dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, harus memenuhi asas keterbukaan. Yakni bersifat transparan dan memberikan akses bagi masyarakat untuk memberikan masukan,” kata Ketua Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro dalam siaran persnya yang dierima AmbonKita.com, Sabtu (13/1/2023).
Dalam perspektif HAM, asas keterbukaan publik termasuk di dalamnya hak untuk berpartisipasi
dan hak atas informasi publik wajib dihormati dan dipenuhi oleh negara.
“Hak-hak dimaksud dijamin dalam Pasal 28C Ayat (2) dan Pasal 28E Ayat (3) UUD RI 1945 jo Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 23 Ayat 2, dan Bab Partisipasi Masyarakat UU HAM yang dimuat dari Pasal 100 hingga Pasal 103,” ungkapnya.
Dalam perspektif formil, Perppu harus ditetapkan berdasarkan kegentingan yang memaksa. Hal tersebut memiliki tiga parameter berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat UU sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam terminologi HAM, kegentingan yang memaksa dimaknai sebagai keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No 12 Tahun 2005, Pasal 4 yang merupakan pengesahan ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP).
BACA JUGA:Â Oknum Brimob Aniaya ABK Sabuk Nusantara Diperiksa
Dalam keadaan darurat dimaksud, negara diperkenankan untuk mengurangi kewajibannya atas pelaksanaan hak-hak sipil dan politik.
“Pembentukan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan perintah di dalam pertimbangan putusan MK. Seharusnya ada partisipasi bermakna dalam pembahasan kembali UU Cipta Kerja yang dilakukan dalam waktu dua tahun sejak Putusan MK dibacakan,” katanya.
Partisipasi publik terutama diperuntukkan bagi kelompok yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap UU Cipta Kerja. Partisipasi tersebut meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan sikapnya secara bebas dan tanpa paksaan (free prior and informed consent).
Selain itu, partisipasi bermakna memiliki maksud yaitu: hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Merujuk rekomendasi Komnas HAM pada 2020, aspek formil pada saat pembentukan UU Cipta Kerja adalah terbatasnya hak atas partisipasi yang bermakna dari masyarakat, serta kurang terpenuhinya hak atas informasi publik. Partisipasi yang bermakna dimaksudkan sebagai penyediaan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat melalui berbagai kanal untuk penyampaian pendapat dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, yang secara nyata juga dapat dipertimbangkan serta mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang disampaikan.
Olehnya itu, Komnas HAM kembali mengeluarkan rekomendasi agar Presiden untuk memperhatikan syarat obyektif dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja khususnya dari sisi penghormatan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara sebagaimana diatur dalam UUD RI 1945; DPR untuk melakukan pembahasan dan pengkajian secara mendalam atas Perppu Cipta Kerja dengan memenuhi hak atas partisipasi publik yang bermakna, termasuk memenuhi hak berpendapat serta hak berekspresi dan hak atas informasi publik berbagai kelompok pemangku hak; Dan DPR untuk mengkaji Perppu Cipta Kerja, dan membuka dialog dengan kelompok-kelompok kepentingan atas Perppu Cipta Kerja berdasarkan asas hak partisipasi bermakna.
Editor: Husen Toisuta
Discussion about this post