AMBONKITA.COM,- Pemerintah Provinsi Maluku kembali dibatasi untuk mengelolah laut, meski dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, Kewenangan Pemerintah Provinsi adalah sebesar 12 mil laut dari garis pantai.
Semua mekanisme perijinan pengelolaan wilayah laut saat ini telah diurusi Pemerintah Pusat secara langsung, bahkan untuk keramba ikan di Teluk Ambon harus ada ijin Kementrian Perikanan dan Kelautan di Jakarta, meski usaha itu berjarak hanya 5 sampai 10 meter dari rumah mereka.
Segudang problem ini disampaikan jajaran Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku kepada Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Bisri As Shiddiq Latuconsina dalam agenda resesnya, Kamis 16 Oktober 2025.
Dalam pertemuan yang berlangsung di kantor DKP Maluku, hadir Kepala Bidang TGKP, R. Makatita, Kabid PBP2HP Karolis Iwamony dan Imran Sangadji Kabid Pengawasan SDKP serta R.Elake staf Bidang PRL.
Menurut mereka, sejumlah aturan yang diterbitkan Pemerintah Pusat dirasa telah merugikan masyarakat pesisir. Salah satunya soal pengelolaan wilayah laut dan juga soal PNBP khusus sektor kelautan perikanan. Aturan ini sangat membebani para pelaku usaha budidaya.
“Kita sekarang hanya jadi penonton saja, ijin pengelolaan laut sudah di pusat, PNBP langsung disetor ke pusat, kita juga tak dapat bagi hasilnya sekarang,” kata Kabid PBP2HP Karolis Iwamony.
Lebih parahnya lagi, pelabuhan-pelabuhan di Maluku sudah banyak kehilangan pendapatan, karena pemerintah pusat telah mengeluarkan surat edaran yang mengizinkan adanya aktivitas bongkar muat di tengah laut antara kapal penangkap dan kapal pengumpul.
“Tidak ada pendaratan ikan lagi, banyak kapal bertransaksi langsung di tengah laut, dan itu diperbolehan pemerintah pusat melalui surat edaran,” beber Karolis.
Masalah lain yang dikeluhkan tentang program kampung nelayan merah putih, ada 100 kuota untuk seluruh Indonesia di tahun 2025, tapi Provinsi Maluku yang luas lautnya lebih besar dari daratan, hanya mendapatkan jatah untuk dua desa satu di Pulau Buru dan satunya di Tual. Ini terjadi karena syarat pada juknis yang ditetapkan pemerintah pusat tidak realistis dengan kondisi geografis Maluku.
“Syaratnya yang tidak bisa kita penuhi, yakni ketersediaan lahan di darat, padahal kita ini kan pulau-pulau kecil,” urai bidang R. Elake salah satu staf pada Bidang PRL DKP Maluku.
Mendapati sejumlah informasi penting ini, Senator Bisri bertekad akan berupaya maksimal melobi pemerintah pusat untuk sekiranya aturan-aturan tersebut dapat ditinjau kembali sehingga daerah kepulauan seperti Provinsi Maluku yang dominasinya laut tidak dirugikan.
“Dalam pertemuan ini, saya mendapati beberapa masalah yang memang harus ditindaklanjuti. Ada banyak regulasi yang menghambat pemerintah provinsi untuk melakukan inovasi-inovasi dan akserelasi dalam rangka percepatan pembangunan industri perikanan di Maluku,” ujar Bisri.
Menurut Bisri, kehadirannya di DKP Maluku kaitannya dengan implementasi Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, tapi masalah-masalah yang disampaikan DKP Maluku sangat kompleks, membutuhkan energi esktra serta peran bersama elemen terkait. Apalagi bidang kerja Komite I DPD RI sejatinya tak ada hubungannya secara langsung dengan perikanan tangkap dan budidaya serta soal PNBP.
“Intinya sebagai daerah kepulauan, seharusnya sektor perikanan itu menjadi unjuk tombak dalam peningkatan PAD, dalam pertemuan ini saya menemukan ada berbagai regulasi yang menghambat, ini menjadi catatan bagi saya. Saya bersyukur juga saya didukung dengan data untuk berjuang di Jakarta,” bebernya. (*)
Editor: Husen Toisuta
BACA BERITA TERKINI AMBONKITA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS