Tak ada gedung sekolah di desa ini baik SD, SMP atau SMA, hingga kini Desa Abio hanya miliki sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Tak ada guru ASN di sekolah itu yang ada hanya tiga guru honorer. Gaji para guru dibayar dari iuran orang tua siswa. Jika anak-anak mau bersekolah SD dan SMP harus berjalan kaki dengan menempuh perjalanan sejauh satu kilo meter ke Desa Huku Kecil (desa tetangga).
Warga Desa Abio, Medrat Latekay mengatakan, Desa Abio kurang tenaga pengajar karena tidak semua orang mau mengajar di daerah pedalaman karena mungkin tempatnya yang jauh dan juga susah untuk mendapatkan jaringan atau sinyal..
Menurut Latekay, akses jalan dan kondisi desa yang terpencil juga menyulitkan warga Desa Abio.
“Semua itu karena jalan dan jembatan yang belum dibangun. Makanya kami minta agar ada kepedulian Pemda SBB biar anak-anak kami di Desa Abio bisa bersekolah seperti di daerah lain,”harapnya.
Selain sarana pendidikan yang tidak ada, di Desa Abio juga tidak ada puskesmas pembantu dan tenaga medis sehingga ada warga yang sakit sulit untuk berobat. Warga hanya menggunakan obat tradisional yang diambil dari hutan untuk berobat.
Meski kondisi Desa Huku Kecil masih lebih baik karena ada gedung SD dan SMP, namun menurut warga Desa Huku Kecil, Pamanu Bitalessy (63) akses jalan adalah masalah terbesar bagi desanya dan desa-desa lain yang ada di kawasan ini.
’’Jalan itu dibuka oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) saat desa di kawasan ini masih masuk kabupaten Malteng, tapi setelah pemekaran dan masuk ke Kabupaten SBB, pemerintah SBB belum juga memperbaiki jalan tersebut,’’ jelasnya.
Dia berharap ada niat baik dari pemerintah sehingga dapat melakukan pembangunan jalan dan jembatan yang mengarah ke Desa Abio dan Desa Huku Kecil.
Karena menurut Pamanu Bitalessy, warga Abio dan Huku Kecil adalah petani. Pengasilan kedua desa ini coklat, cengkeh dan Pala jika panen warga harus berjalan kaki dengan kondisi jalan yang tidak baik sehingga berjam-jam baru sampai ke kebun atau ke Jalan Trans Seram.
“Hasil panen biasanya kita jual ke Kabupaten Maluku Tengah (Malteng),”katanya.
Namun petani dari dua desa ini harus memikul hasil tersebut dengan jalan kaki. Seharian jalan kaki dari kampung menuju Jalan Lintas Trans Seram.
‘’Di jalan trans seram, petani masih harus menunggu angkutan untuk bawa hasil tani ke Maluku Tengah, memang ada tukang ojek di sini tapi biaya mahal, mereka minta Rp 500 ribu. Dengan harga segitu warga lebih memilh jalan kaki, meski lama dan sulit, ’’ kata Bitalessy.
Discussion about this post