AMBONKITA.COM,- Sidang kasus dugaan korupsi pada Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) tahun 2016, kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (7/3/2022).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Maluku menghadirkan lima orang saksi mahkota di sidang lanjutan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Jenny Tulak Cs.
Pada sidang kasus dugaan korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp 8,6 miliar ini, para terdakwa ikut didampingi kuasa hukum, Fahri Bacmid Cs.
Lima saksi mahkota adalah para terdakwa sendiri, yaitu mantan Sekda SBB Mansur Tuharea, Refael Tamu, Bendahara Pengeluaran, Adam Pattisahusiwa, Bendahara Pengeluaran, Abraham Niak, Kepala Bidang Kuasa Bendahara Umum pada Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah SBB, dan Ujir Halid, Plt Bupati SBB.
Ujir Halid dalam pengakuannya pernah menandatangani sejumlah uang yang bersumber dari biaya belanja langsung pada Setda SBB. Rinciannya bervariasi. Ia pernah menandatangani kwitansi sejumlah Rp 300 juta, Rp 50 juta, Rp 100 juta, dan Rp 70 juta sejak 2016.
“Uang-uang ini ditandatangani saudara Ujar Halid sesuai bukti kwitansi tertera nama dan tandatangan, apakah uang-uang ini benar saudara ketahui dan saudara ambil sebagai uang perjalanan dinas dan sebagainya?,” tanya JPU Achmad Attamimi sambil memperlihatkan bukti kwitansi dalam BAP terdakwa.
Ditanya jaksa, Ujir Halid tidak mengelak. Ia mengaku tandatangan dalam kwitansi itu adalah dirinya. Uang-uang itu diketahui semua terdakwa, karena arahannya dari Sekda Manshur Tuharea.
“Benar pak jaksa, tapi ini semua berdasarkan petunjuk dari Sekda, dan itu yang saya tandatangani,” akui terdakwa.
Ujir mengaku mekanisme pengeluarkan uang dalam anggaran biaya langsung pada Setda terdapat stadar tertentu yang harus dimasukan sebagai syarat pencairan.
“Tapi semua dilakukan berdasarkan memo yang masuk,” ungkap terdakwa.
Terpisah, di luar persidangan, JPU Achmad Attamimi yang dikonfirmasi mengatakan, untuk keterangan dalam persidangan, para terdakwa sudah mengakui semua perbuatan yang dilakukan. Bahkan, mereka sendiri mengaku pernah menandatangani sejumlah uang berdasarkan alat bukti yang diajukan JPU.
“Karena itulah dakwaan kita kuat terhadap perkara ini,” pungkasnya.
Untuk diketahui, dalam dakwaan JPU, perbuatan para terdakwa telah melawan hukum. Mereka melakukan pencairan anggaran belanja langsung pada Setda Kabupaten SBB tanpa disertai bukti-bukti pertanggung jawaban yang sah.
Pencairan anggaran juga dilakukan tanpa otorisasi dan verifikasi penggunaan uang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Pemberian uang dari anggaran belanja langsung kepada terdakwa Ujir Halid juga tanpa bukti pertanggung jawaban yang sah.
JPU menjelaskan, tahun 2016 terdapat permintaan pencairan anggaran belanja langsung setda kabupaten SBB oleh terdakwa Rafael Tamu sebesar Rp 9.029.817.719. Anggaran ini tidak dapat dipertanggung jawabkan dengan bukti pengeluaran yang sah. Kemudian diotorisasi oleh terdakwa Mansur Tuharea sejumlah Rp 7.641.636.851. Sedangkan yang tidak melakukan otorisasi sejumlah Rp.2.034.250.366.
Selanjutnya, pada tahun 2016, terdakwa Adam Pattisahusiwa membuat permintaan pencairan anggaran belanja langsung setda SBB sejumlah Rp 1.394.534.380. Anggaran ini juga tidak dapat dipertanggung jawabkan dengan bukti-bukti yang sah sejumlah Rp 873.510.780. Namun anggaran ini sudah dilakukan otorisasi oleh terdakwa Mansur Tuharea, sedangkan permintaan pencairan anggaran belanja langsung yang tidak melakukan otorisasi sejumlah Rp 579.005.060.
Dengan ketidak jelasan pertanggung jawaban tersebut, Ujir Halid justru menyuruh Adam Pattisahusiwa untuk memberikan uang sejumlah Rp 520.000.000. Sedangkan Abraham Niak selaku kuasa BUD telah menandatanangi dan mengeluarkan SP2D untuk permintaan pencairan yang diajukan Rafael Tamu, Adam Pattisahusiwa, baik yang dengan otorisasi maupun yang tidak oleh Mansyur Tuharea.
“Terdakwa Abraham Niak menandatangani SP2D tanpa dilengkapi bukti-bukti pertanggung jawaban yang sah yang seharusnya dilampirkan dan dilengkapi oleh terdakwa Rafael Tamu dan Adam Pattisahusiwa sejumlah Rp 9.029.817.719,” ungkap JPU.
JPU juga mengatakan terdakwa Mansyur Tuharea tidak membentuk PPK SKPD untuk melakukan verifikasi terhadap permintaan pembayaran dan tidak membentuk pejabat penandatanganan surat perintah membayar (SPM) SKPD.
“Terdakwa Mansyur Tuharea tidak pernah melakukan pemeriksaan Kas yang dilakukan oleh bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran sekurang-kurangnya satu kali dalam tiga bulan,” jelasnya.
Kelima terdakwa sendiri didakwa melanggar pasal 2 ayat (1) dan 2 junto pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Editor: Husen Toisuta
Discussion about this post